Arih Numboro
- Pendahuluan
Karya
sastra adalah salah satu bentuk budaya manusia. Karya sastra dicipta oleh
pengarang untuk merespon aktifitas manusia. Karenanya, karya sastra dapat
dikatakan sebagai potret kehidupan manusia: potret kehidupan masyarakat dan
potret kehidupan pengarang.
Dalam
pandangan Sosiologi Sastra, karya sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
pengarang dan masyarakat yang melingkupinya. Antara karya sastra, pengarang ,
dan masyarakat terdapat hubungan yang saling mengikat. Karya sastra yang dibuat
dengan berdasarkan problematika masyarakat, di dalamnya terkandung
ajaran-ajaran, petuah-petuah, dan pengetahuan-pengetahuan. Karena itu karya
sastra memiliki nilai dedaktis yang dapat digunakan sebagai landasan bertindak
dalam menghadapi permasalahan kehidupan.
Nyoman
Kutha Ratna (2004:60) menegaskan pernyataan di atas dengan menyatakan bahwa karya
sastra begitu dekat hubungannya dengan masyarakat. Hal ini disebabkan karena:
1. Karya sastra dihasilkan
oleh pengarang.
2. Pengarang adalah anggota
masyarakat.
3. Pengarang memanfaatkan
kekayaan yang ada dalam masyarakat.
4. Karya sastra
dimanfaatkan oleh masyarakat.
- Potret Kehidupan Manusia
1.
Soaial Politik
Karya-karya
Ranggawarsita merupakan karya yang monumental, yang selalu kontekstual, yang
dapat dibicarakan dan dikaji setiap saat. Karya-karya Ranggawarsita yang berisi
tentang ajaran kesempurnaan hidup, baik kesempurnaan hidup di dunia maupun di
akhirat, yang akan mampu menjawab permasalahan hidup manusia. Pada Serat
Sabdajati bait ke 9 dituliskan:
Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung
anggelar sakalir
kalamun temen tinemu
kabegjane anekani
kamurahaning Hyang Manon
(tidak percaya pada
kuasa Tuhan yang telah membentangkan segala-galanya. Kalau bersungguh mencari
kebenaran pasti akan ketemu, sehingga kebahagiaan dan kemurahan Tuhan akan
datang).
Ungkapan
Ranggawarsita tersebut merupakan dari hasil kontemplasi ketika menghadapi
keadaan hidup yang serba susah dan tidak berjalan pada rel kebijakan Tuhan.
Ranggawarsita
yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren (di Gebangtinatar Ponorogo
pimpinan Kyai Kasan Besari) dan pendidikan Kejawen (dididik oleh pengasuhnya Ki
Tanujaya), menjadikan Ranggawarsita sebagai manusia yang religius. Di setiap
tulisannya terpapar kedekatannya dengan Sang Maha Pencipta. Pada bait ke-5
ditulis:
Lamun nganti korup mring panggawe dudu
Dadi panggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon
(Bila
terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan, sudah jelas akan menjadi sarang
iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak
dapat berbuat dengan iktikad hati yang baik, seolah-olah mabuk kepayang).
Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon
(bait
ke-10)
(Segala
permintaan umat-Nya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati. Tuhan
akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi segala cita-cita dan
kehendaknya tercapai).
Contoh
tersebut menyuratkan bahawa perbuatan yang melanggar dan menyimpang dari aturan
Tuhan akan menyebabkan manusia dalam keadaan yang susah, namun Tuhan akan
memberi pertolongan kepada hamba-Nya yang memohon pertolongan, yang
sungguh-sungguh menjalankan perintah-Nya.
Pada
Serat Kalatidha Ranggawarsita merekam keadaan negara yang dilanda kerusakan
(akhlak, politik, birokrasi, dan sosial)
Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaruri
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun Kala Tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda
(bait ke-1)
(Saat ini martabat negara hancur
berantakan. Aturan, hukum, dan undang-undangnya tidak diindahkan dan
diinjak-injak. Contoh-contoh yang luhur tidak ada lagi. Orang-orang terpelajar
terbawa arus dalam kepincangan zaman. Suasananya mencekam, sebab hidup penuh
dengan kerepotan. Ibarat yang salah jadi benar, dan yang benar menjadi salah.
Yang halal menjadi haram, dan yang haram menjadi halal).
Dasar karoban pawarta
Bebaratan ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yen pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu kali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
(bait ke-6)
(Berbagai macam gosip dan rumor
datang tak menentu pada zaman itu. Di mana-mana selalu ada gosip, bahkan hampir
diseluruh penjuru dipenuhi dengan gosip. Bukan gosip yang positif, melainkan
hanya sekedar mengumbar aib. Orang-orang banyak yang berebut kedudukan. Setiap
kepala ingin duduk memerintah. Oleh sebab itu, janji-janji berhamburan demi
menggapai tujuan. Tapi pada akhirnya itu hanya sekedar bualan. Kata-kata yang
telah diucapkan justru malah tidak diperhatikan sama sekali. Sibuk dengan
perutnya sendiri. Sebenarnya, kalau benar-benar direnungkan, menjadi pemimpin
itu tidak ada guna-faedahnya. Justru malah menumpuk kesalahan-kesalahan saja.
Bahkan jika lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kesusahpayahan yang
berujung pada bencana.)
Melihat
keadaan semacam itu, Ranggawarsita sebagai seorang pujangga yang bertugas
sebagai paranpara raja, merasa
prihatin, sedih, dan menangis dalam hati melihat realitas kehidupan yang penuh
dengan fitnah dan intrik. Katetangi
tangsisira, sira kang paramengkawi kawileting tyas duhkita (bait ke-3).
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan
waspada.
Pada
bait ke-7, bait yang fenomenal, menyuratkan kata “jaman edan”. Ranggawarsita menyimpulkan
keadaan seperti itu sebagai jaman edan.
Jaman yang serba susah
menentukan sikap. Ingin mengikuti arus zaman, tidak sampai hati, tetapi jika
tidak mengikuti, tidak akan mendapatkan apa-apa. Yang didapat hanyalah
kelaparan. Walaupun begitu, ini sudah jadi kehendak Tuhan. Di zaman ini,
seuntung apapun orang yang lupa daratan, masih lebih beruntung orang yang ingat
dan waspada. Ingat kepada yang hidup dan yang mati. Ingat pada jati dirinya
sendiri. Waspada terhadap kutukan Tuhan yang pasti.
Kedua karya
Ranggawarsita yakni Sabdajati dan Kalatidha (contoh dari sekian karya yang mengajarkan
kesempurnaan hidup) adalah contoh keadaan negara dan masyarakat pada masa itu. Ranggawarsita
dengan kelantipan (ketajaman) batinnya telah merekam keadaan jaman dan memberi jalan
keluar dari masalah tersebut.
Pada bagian
akhir Serat Sabdajati, Ranggawarsita meramalkan akan datangnya takdir
kematiannya. Hal tersebut telah menjadi polemik di kalangan ilmuwan dan
pemerhati budaya. Pada bagian ini penulis (saya) tidak akan terbawa arus
tersebut, namun hanya menegaskan bahwa hal tersebut adalah suatu kenyataan pada
masa itu. Kalaupun benar bahwa Ranggawarsita telah meramalkan kematiannya,
berarti Ranggawarsita adalah manusia linuwih yang diberi karomah oleh Tuhan sehingga
mengetahui sesuatu sebelum terjadi (weruh
sadurunge winarah). Namun apabila yang benar adalah Ranggawarsita mati
karena hukuman dari penguasa, berarti pada masa itu telah terjadi sebuah
peraturan hukuman mati bagi rakyat, sekalipun mereka adalah seorang pujangga.
Dan penyebab adanya hukuman terhadap Ranggawarsita adalah sebuah kenyataan
sejarah.
2.
Sosial Ekonomi
Walaupun
tidak dapat disebut sebagai sebuah karya sastra, surat menyurat Ranggawarsita
dengan Winter dapat dimasukkan dalam karya tulis Ranggawarsita yang dapat
digunakan sebagai bukti realitas kehidupan Sang Pujangga.
Hubungan
antara Ranggawarsita dengan Winter adalah sangat dekat. Ranggawarsita
menganggap Winter sebagai bapak. “Kawula nuwun, atur sêmbah sungkêm
kawula pun Ngabèi Rônggawarsita, ingkang mugi-mugi kaonjuk ing sangandhap
pinarakan paduka kangjêng rama.” (Surat Ranggawarsita kepada Winter, tertanggal 2 Juni 1842). Kalimat
tersebut selalu tertulis di setiap surat yang dikirimkan kepada Winter.
Pada surat lain,
terbukti bahwa Ranggawarsita sering dimintai tolong (diberi pekerjaan) oleh
Winter untuk menterjemahkan bahasa yang tidak dimengerti oleh Winter.
Surat terlanggal 10
Juli 1842
“Ingkang kaping kalihipun. Kawula nuwun mênggah kagungan paduka
pitêmbungan punika kawula kamipurun nyuwun inah benjing enjing sontên kimawon
kawula anyaosakên. Aming kantun sakêdhik.” (Yang kedua, saya mohon maaf, (untuk terjemahan)
kata-kata paduka, saya mohon waktu, besuk sore saya haturkan.)
Surat tertanggal 8
Februari 1841.
“Kawula nuwun, mênggah kagungan paduka Kawi kêbetan punika, kawula
kamipurun nyuwun inah benjing Rêbo sontên utawi Kêmis enjing, bilih wilujêng
kawula sagêd anyaosakên,” (Saya mohon maaf, mengenai (terjemahan) bahasa Kawi paduka, saya mohon
waktu besuk hari Rabu sore atau Kamis pagi baru bisa saya serahkan.)
Surat tertanggal 2
Juni 1842, memuat pernyataan Ranggawarsita, bahwa dia telah menerima uang
kiriman dari Winter, dan mengucapkan terimakasih. Juga berisi jawaban
Ranggawarsita yang berupa terjemahan kalimat puitis dengan bahasa prosa.
“Kawula nuwun, kala wau kawula sampun tampi sih pêparing paduka yatra
ingkang kabêkta prikônca upas, kathahipun 7 rupiyah, kawula nuwun ingkang
punika, inggih sakalangkung-langkung panuwun kawula, saha ingkang saèstu
andadosakên suka bingahipun ing manah kawula. Ingkang kaping kalihipun. Kawula
nuwun, kawula anyaosakên pamundhut paduka jarwanipun ungêl-ungêlan ing ngandhap
punika. …”
Surat tertanggal 9 Sepetmber 1842, dikirimkan Ranggawarsita
kepada Winter tentang permohonan pinjam uang Rp. 25,- yang akan digunakan
membayar kewajibannya ke kraton. Uang tersebut, bila berkenan akan
diperhitungkan dengan pekerjaan yang dilaksanakan, tetapi bila tidak, akan
dikembalikan setelah bulan puasa.
“Kawula nuwun, jrih kawula saos unjuk ing panjênêngan paduka, kawula
kamipurun atawan-tawan tangis agêgulungan wontên ing sangandhap pinarakan
paduka, awit saking judhêgipun manah kawula kapundhutan takêr têdhaking nagari,
punika bilih parêng kalilan saking karsa paduka, kawula kamipurun anyaosakên
gêgantosan awak kawula, kaonjuk ing panjênêngan paduka, kawula anênuwun sih
pitulung nyambut kagungan paduka yatra saking salangkung rupiyah kimawon.
Mênggah awak kawula wau kawula nuwun sumôngga ingkang dados karsa paduka,
ingkang saupami ing wingking bilih sampun rampung paring paduka padamêlan,
ingkang sawêg kawula garap punika, panjênêngan paduka taksih kêrsa amaringi
padamêlan malih, ingkang sakintên kawula sagêd, kawula nuwun inggih sandika,
wondèntên ingkang saupami panjênêngan paduka ing wingking sampun botên paring padamêlan
malih dhatêng kawula, kawula nuwun benjing bakda Siyam punika kawula anyaosakên
kagungan paduka yatra 25 rupiyah wau, ingkang sayêktosipun atur kawula punika.”
Dari
data surat surat tersebut, terbukti bahwa telah terjadi kerjasama antara Winter
dengan Ranggawarsita, yakni Winter memberi pekerjaan kepada Ranggawarsita
sebagai penterjemah.
Pada
sisi lain dari surat-surat Ranggawarsita terdapat hal yang menarik perhatian,
yaitu tanggal surat Ranggawarsita yang dikirim kepada Winter maupun pendeta Van
Der Am ditulis dengan tarikh Masehi, sedangkan surat kepada Purwadipura
menggunakan tanggal Jawa.
Kaonjuk ing dintên Kêmis tanggal kaping 2 wulan
Juni ing taun 1842. (Surat kepada Winter)
Kêmis kaping 5
Juni 1844.
Ingkang
saudara, Radèn Ngabèi Rônggawarsita. (Surat kepada Van Der Am)
Berikut surat kepada
Purwadipura.
Kawangsulan ing dintên Sêtu ping 14 Sapar ing taun Jimakir ôngka 1770. (26 Maret 1842 = pen)
Katur ing dintên Sabtu tanggal kaping 14 wulan Sapar ing taun Jimakhir,
angkaning warsa 1770. (26 Maret 1842 AD = pen)
Hal tersebut menunjukkan
bahwa Ranggawarsita dapat memilahkan kepada siapa beliau berkomunikasi.
- Penutup
Dari
pembahasan terhadap karya-karya Ranggawarsita secara singkat di atas dapat
disimpulkan:
1. Ranggawarsita adalah
pujangga besar yang pernah dimiliki kraton Surakarta. Ranggawarsita telah
menorehkan ajaran yang mampu digunakan oleh masyarakat, tidak terbatas masyarakat
Jawa.
2. Terlepas dari tulisan
yang dianggap sebagai ramalan, apakah ramalan tentang jaman maupun ramalan
tentang akan datangnya kematiannya, Ranggawarsita telah menuliskan kenyataan
sejarah keadaan sosial politik pemerintahan pada masa itu.
3. Telah terjadi hubungan
sosial ekonomi antara Ranggawarsita dengan Winter; Ranggawarsita dengan pendeta
Van Der Am, dan Ranggawarsita dengan Nyonya Eming.
DAFTAR PUSTAKA
Anjar
Any, 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya,
Ranggawarsita, dan Sabdapalon. Semarang: CV. Aneka.
__________.
1980. Raden Ngabehi Ranggawarsita, Apa
yang Terjadi? Semarang: Aneka.
Kamajaya.
1991. Lima Karya Pujangga Ranggawarsita. Jakarta:
Balai Pustaka.
Marbangun
Harjowirogo. 1982. Manusia Jawa. Jakarta:
PT. Inti Indayu Press.
Nyoman
Kutha Ratna. 2004. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Poerwadarminta,
W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa.
Batavia: J.B. Wolter Uitgervers Maatchappij N.V. Groningen.
Sapardi
Djoko Damono. 1979. Sosiologi Sastra,
Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Surat Menyurat
Rônggawarsita,
Lor 2235 #869.
Wellek,
Rene., dan Austin Waren. 1995. Teori
Kesusastraan (diterjemahkan oleh Melanie Budiyanto). Jakarta: Gramedia.
Website:
Kupasan Ronggowarsito at
Anwar Ibrahim.
www.harapanmalaysia.com
www.
sastra.org
No comments:
Post a Comment