Monday 25 March 2013

POTRET SOSIAL KARYA RADEN NGABEHI RANGGAWARSITA




Arih Numboro
 


  1. Pendahuluan
Karya sastra adalah salah satu bentuk budaya manusia. Karya sastra dicipta oleh pengarang untuk merespon aktifitas manusia. Karenanya, karya sastra dapat dikatakan sebagai potret kehidupan manusia: potret kehidupan masyarakat dan potret kehidupan pengarang.
Dalam pandangan Sosiologi Sastra, karya sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pengarang dan masyarakat yang melingkupinya. Antara karya sastra, pengarang , dan masyarakat terdapat hubungan yang saling mengikat. Karya sastra yang dibuat dengan berdasarkan problematika masyarakat, di dalamnya terkandung ajaran-ajaran, petuah-petuah, dan pengetahuan-pengetahuan. Karena itu karya sastra memiliki nilai dedaktis yang dapat digunakan sebagai landasan bertindak dalam menghadapi permasalahan kehidupan.


Nyoman Kutha Ratna (2004:60) menegaskan pernyataan di atas dengan menyatakan bahwa karya sastra begitu dekat hubungannya dengan masyarakat. Hal ini disebabkan karena:
1.      Karya sastra dihasilkan oleh pengarang.
2.      Pengarang adalah anggota masyarakat.
3.      Pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat.
4.      Karya sastra dimanfaatkan oleh masyarakat.

  1. Potret Kehidupan Manusia
1.     Soaial Politik
Karya-karya Ranggawarsita merupakan karya yang monumental, yang selalu kontekstual, yang dapat dibicarakan dan dikaji setiap saat. Karya-karya Ranggawarsita yang berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup, baik kesempurnaan hidup di dunia maupun di akhirat, yang akan mampu menjawab permasalahan hidup manusia. Pada Serat Sabdajati bait ke 9 dituliskan:

Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung
anggelar sakalir
kalamun temen tinemu
kabegjane anekani
kamurahaning Hyang Manon
(tidak percaya pada kuasa Tuhan yang telah membentangkan segala-galanya. Kalau bersungguh mencari kebenaran pasti akan ketemu, sehingga kebahagiaan dan kemurahan Tuhan akan datang).

Ungkapan Ranggawarsita tersebut merupakan dari hasil kontemplasi ketika menghadapi keadaan hidup yang serba susah dan tidak berjalan pada rel kebijakan Tuhan.
Ranggawarsita yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren (di Gebangtinatar Ponorogo pimpinan Kyai Kasan Besari) dan pendidikan Kejawen (dididik oleh pengasuhnya Ki Tanujaya), menjadikan Ranggawarsita sebagai manusia yang religius. Di setiap tulisannya terpapar kedekatannya dengan Sang Maha Pencipta. Pada bait ke-5 ditulis:

Lamun nganti korup mring panggawe dudu
Dadi panggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon
(Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan, sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan iktikad hati yang baik, seolah-olah mabuk kepayang).

Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon
(bait ke-10)
(Segala permintaan umat-Nya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati. Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi segala cita-cita dan kehendaknya tercapai).

Contoh tersebut menyuratkan bahawa perbuatan yang melanggar dan menyimpang dari aturan Tuhan akan menyebabkan manusia dalam keadaan yang susah, namun Tuhan akan memberi pertolongan kepada hamba-Nya yang memohon pertolongan, yang sungguh-sungguh menjalankan perintah-Nya.
Pada Serat Kalatidha Ranggawarsita merekam keadaan negara yang dilanda kerusakan (akhlak, politik, birokrasi, dan sosial)

Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaruri
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun Kala Tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda
(bait ke-1)
(Saat ini martabat negara hancur berantakan. Aturan, hukum, dan undang-undangnya tidak diindahkan dan diinjak-injak. Contoh-contoh yang luhur tidak ada lagi. Orang-orang terpelajar terbawa arus dalam kepincangan zaman. Suasananya mencekam, sebab hidup penuh dengan kerepotan. Ibarat yang salah jadi benar, dan yang benar menjadi salah. Yang halal menjadi haram, dan yang haram menjadi halal).


Dasar karoban pawarta
Bebaratan ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yen pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu kali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
(bait ke-6)
(Berbagai macam gosip dan rumor datang tak menentu pada zaman itu. Di mana-mana selalu ada gosip, bahkan hampir diseluruh penjuru dipenuhi dengan gosip. Bukan gosip yang positif, melainkan hanya sekedar mengumbar aib. Orang-orang banyak yang berebut kedudukan. Setiap kepala ingin duduk memerintah. Oleh sebab itu, janji-janji berhamburan demi menggapai tujuan. Tapi pada akhirnya itu hanya sekedar bualan. Kata-kata yang telah diucapkan justru malah tidak diperhatikan sama sekali. Sibuk dengan perutnya sendiri. Sebenarnya, kalau benar-benar direnungkan, menjadi pemimpin itu tidak ada guna-faedahnya. Justru malah menumpuk kesalahan-kesalahan saja. Bahkan jika lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kesusahpayahan yang berujung pada bencana.)

Melihat keadaan semacam itu, Ranggawarsita sebagai seorang pujangga yang bertugas sebagai paranpara raja, merasa prihatin, sedih, dan menangis dalam hati melihat realitas kehidupan yang penuh dengan fitnah dan intrik. Katetangi tangsisira, sira kang paramengkawi kawileting tyas duhkita (bait ke-3).

Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada.

Pada bait ke-7, bait yang fenomenal, menyuratkan kata “jaman edan”. Ranggawarsita menyimpulkan keadaan seperti itu sebagai jaman edan. Jaman yang serba susah menentukan sikap. Ingin mengikuti arus zaman, tidak sampai hati, tetapi jika tidak mengikuti, tidak akan mendapatkan apa-apa. Yang didapat hanyalah kelaparan. Walaupun begitu, ini sudah jadi kehendak Tuhan. Di zaman ini, seuntung apapun orang yang lupa daratan, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Ingat kepada yang hidup dan yang mati. Ingat pada jati dirinya sendiri. Waspada terhadap kutukan Tuhan yang pasti.
Kedua karya Ranggawarsita yakni Sabdajati dan Kalatidha (contoh dari sekian karya yang mengajarkan kesempurnaan hidup) adalah contoh keadaan negara dan masyarakat pada masa itu. Ranggawarsita dengan kelantipan (ketajaman) batinnya telah merekam keadaan jaman dan memberi jalan keluar dari masalah tersebut.
Pada bagian akhir Serat Sabdajati, Ranggawarsita meramalkan akan datangnya takdir kematiannya. Hal tersebut telah menjadi polemik di kalangan ilmuwan dan pemerhati budaya. Pada bagian ini penulis (saya) tidak akan terbawa arus tersebut, namun hanya menegaskan bahwa hal tersebut adalah suatu kenyataan pada masa itu. Kalaupun benar bahwa Ranggawarsita telah meramalkan kematiannya, berarti Ranggawarsita adalah manusia linuwih yang diberi karomah oleh Tuhan sehingga mengetahui sesuatu sebelum terjadi (weruh sadurunge winarah). Namun apabila yang benar adalah Ranggawarsita mati karena hukuman dari penguasa, berarti pada masa itu telah terjadi sebuah peraturan hukuman mati bagi rakyat, sekalipun mereka adalah seorang pujangga. Dan penyebab adanya hukuman terhadap Ranggawarsita adalah sebuah kenyataan sejarah.

2.     Sosial Ekonomi
Walaupun tidak dapat disebut sebagai sebuah karya sastra, surat menyurat Ranggawarsita dengan Winter dapat dimasukkan dalam karya tulis Ranggawarsita yang dapat digunakan sebagai bukti realitas kehidupan Sang Pujangga.
Hubungan antara Ranggawarsita dengan Winter adalah sangat dekat. Ranggawarsita menganggap Winter sebagai bapak. “Kawula nuwun, atur sêmbah sungkêm kawula pun Ngabèi Rônggawarsita, ingkang mugi-mugi kaonjuk ing sangandhap pinarakan paduka kangjêng rama.” (Surat Ranggawarsita kepada Winter, tertanggal 2 Juni 1842). Kalimat tersebut selalu tertulis di setiap surat yang dikirimkan kepada Winter.
Pada surat lain, terbukti bahwa Ranggawarsita sering dimintai tolong (diberi pekerjaan) oleh Winter untuk menterjemahkan bahasa yang tidak dimengerti oleh Winter.
Surat terlanggal 10 Juli 1842
“Ingkang kaping kalihipun. Kawula nuwun mênggah kagungan paduka pitêmbungan punika kawula kamipurun nyuwun inah benjing enjing sontên kimawon kawula anyaosakên. Aming kantun sakêdhik.” (Yang kedua, saya mohon maaf, (untuk terjemahan) kata-kata paduka, saya mohon waktu, besuk sore saya haturkan.)
Surat tertanggal 8 Februari 1841.
“Kawula nuwun, mênggah kagungan paduka Kawi kêbetan punika, kawula kamipurun nyuwun inah benjing Rêbo sontên utawi Kêmis enjing, bilih wilujêng kawula sagêd anyaosakên,” (Saya mohon maaf, mengenai (terjemahan) bahasa Kawi paduka, saya mohon waktu besuk hari Rabu sore atau Kamis pagi baru bisa saya serahkan.)
Surat tertanggal 2 Juni 1842, memuat pernyataan Ranggawarsita, bahwa dia telah menerima uang kiriman dari Winter, dan mengucapkan terimakasih. Juga berisi jawaban Ranggawarsita yang berupa terjemahan kalimat puitis dengan bahasa prosa.
“Kawula nuwun, kala wau kawula sampun tampi sih pêparing paduka yatra ingkang kabêkta prikônca upas, kathahipun 7 rupiyah, kawula nuwun ingkang punika, inggih sakalangkung-langkung panuwun kawula, saha ingkang saèstu andadosakên suka bingahipun ing manah kawula. Ingkang kaping kalihipun. Kawula nuwun, kawula anyaosakên pamundhut paduka jarwanipun ungêl-ungêlan ing ngandhap punika. …”
Surat tertanggal 9 Sepetmber 1842, dikirimkan Ranggawarsita kepada Winter tentang permohonan pinjam uang Rp. 25,- yang akan digunakan membayar kewajibannya ke kraton. Uang tersebut, bila berkenan akan diperhitungkan dengan pekerjaan yang dilaksanakan, tetapi bila tidak, akan dikembalikan setelah bulan puasa.
“Kawula nuwun, jrih kawula saos unjuk ing panjênêngan paduka, kawula kamipurun atawan-tawan tangis agêgulungan wontên ing sangandhap pinarakan paduka, awit saking judhêgipun manah kawula kapundhutan takêr têdhaking nagari, punika bilih parêng kalilan saking karsa paduka, kawula kamipurun anyaosakên gêgantosan awak kawula, kaonjuk ing panjênêngan paduka, kawula anênuwun sih pitulung nyambut kagungan paduka yatra saking salangkung rupiyah kimawon. Mênggah awak kawula wau kawula nuwun sumôngga ingkang dados karsa paduka, ingkang saupami ing wingking bilih sampun rampung paring paduka padamêlan, ingkang sawêg kawula garap punika, panjênêngan paduka taksih kêrsa amaringi padamêlan malih, ingkang sakintên kawula sagêd, kawula nuwun inggih sandika, wondèntên ingkang saupami panjênêngan paduka ing wingking sampun botên paring padamêlan malih dhatêng kawula, kawula nuwun benjing bakda Siyam punika kawula anyaosakên kagungan paduka yatra 25 rupiyah wau, ingkang sayêktosipun atur kawula punika.”
Dari data surat surat tersebut, terbukti bahwa telah terjadi kerjasama antara Winter dengan Ranggawarsita, yakni Winter memberi pekerjaan kepada Ranggawarsita sebagai penterjemah.
Pada sisi lain dari surat-surat Ranggawarsita terdapat hal yang menarik perhatian, yaitu tanggal surat Ranggawarsita yang dikirim kepada Winter maupun pendeta Van Der Am ditulis dengan tarikh Masehi, sedangkan surat kepada Purwadipura menggunakan tanggal Jawa.
Kaonjuk ing dintên Kêmis tanggal kaping 2 wulan Juni ing taun 1842. (Surat kepada Winter)
Kêmis kaping 5 Juni 1844.
Ingkang saudara, Radèn Ngabèi Rônggawarsita. (Surat kepada Van Der Am)
Berikut surat kepada Purwadipura.

Kawangsulan ing dintên Sêtu ping 14 Sapar ing taun Jimakir ôngka 1770. (26 Maret 1842 = pen)

Katur ing dintên Sabtu tanggal kaping 14 wulan Sapar ing taun Jimakhir, angkaning warsa 1770. (26 Maret 1842 AD = pen)
Hal tersebut menunjukkan bahwa Ranggawarsita dapat memilahkan kepada siapa beliau berkomunikasi.

  1. Penutup
Dari pembahasan terhadap karya-karya Ranggawarsita secara singkat di atas dapat disimpulkan:
1.      Ranggawarsita adalah pujangga besar yang pernah dimiliki kraton Surakarta. Ranggawarsita telah menorehkan ajaran yang mampu digunakan oleh masyarakat, tidak terbatas masyarakat Jawa.
2.      Terlepas dari tulisan yang dianggap sebagai ramalan, apakah ramalan tentang jaman maupun ramalan tentang akan datangnya kematiannya, Ranggawarsita telah menuliskan kenyataan sejarah keadaan sosial politik pemerintahan pada masa itu.
3.      Telah terjadi hubungan sosial ekonomi antara Ranggawarsita dengan Winter; Ranggawarsita dengan pendeta Van Der Am, dan Ranggawarsita dengan Nyonya Eming.

DAFTAR PUSTAKA

Anjar Any, 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita, dan Sabdapalon. Semarang: CV. Aneka.

__________. 1980. Raden Ngabehi Ranggawarsita, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka.

Kamajaya. 1991. Lima Karya Pujangga Ranggawarsita. Jakarta: Balai Pustaka.

Marbangun Harjowirogo. 1982. Manusia Jawa. Jakarta: PT. Inti Indayu Press.

Nyoman Kutha Ratna. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolter Uitgervers Maatchappij N.V. Groningen.

Sapardi Djoko Damono. 1979. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Surat Menyurat Rônggawarsita, Lor 2235 #869.

Wellek, Rene., dan Austin Waren. 1995. Teori Kesusastraan (diterjemahkan oleh Melanie Budiyanto). Jakarta: Gramedia.

Website:

Kupasan Ronggowarsito at Anwar Ibrahim. www.harapanmalaysia.com

www. sastra.org


No comments:

Post a Comment